Kita akan menganalisis persoalan-persoalan yang lahir dari kekerabatan pusat-daerah, persaingan ideologis, dan pergolakan sosial politik hingga tahun 1960-an. Rata-rata konflik itu disebabkan sisa-sisa imbas Belanda, perebutan kekuasaan, serta ketidaksiapan kawasan dalam mendapatkan dan menjalankan kebijakan pemerintah pusat.
Dari situlah kita sanggup merunut munculnya aneka macam gerakan dan pergolakan kawasan yang mempengaruhi tatanan politik nasional. Gerakan-gerakan itu sanggup berkembang lantaran adanya proteksi dari beberapa panglima daerah.
Letkol Achmad Husein mengambil alih pemerintah kawasan Sumatra Tengah dari tangan Gubernur Ruslan Muljohardjo. Salah satu alasannya lantaran gubernur gagal membangun kawasan Sumatra Tengah dan ini diakui secara terus jelas oleh gubernur.
Tuntutan Dewan Banteng sanggup dipahami oleh pemerintah pusat, tetapi pengambilalihan pemerintah kawasan dianggap menyalahi aturan oleh pemerintah pusat.
Setelah menguasai RRI Medan, Simbolon mengumumkan meskipun Kota Medan kacau, aturan masih sanggup ditegakkan. Bahkan, ia menyatakan tetap taat kepada Presiden Ir. Soekarno.
Ini tentu membingungkan rakyat, di satu sisi ia taat kepada pemerintah pusat, di sisi lain ia menguasai beberapa instansi vital di Medan. Langkah Simbolon ini ditentang oleh para perwira Sumatra Utara, menyerupai Letkol Djamin Gintings (Kepala Staf TTI) dan Letkol Wahab Makmur.
Presiden Ir. Soekarno pun mengingatkan supaya Simbolon kembali ke jalan yang benar. Oleh lantaran tidak menghiraukan undangan itu, Simbolon pun dipecat oleh PM Ali Sastroamidjojo.
Pemerintah lalu mengirimkan Fact Finding Commission (Komisi Penyelidik Keadaan) untuk meneliti lantaran musabab munculnya aneka macam gerakan di daerah. Namun, komisi ini ditolak kehadirannya.
Dalam Piagam Pembangunan yang mereka buat, mereka menuntut pemerintah sentra supaya memberi otonomi seluas-luasnya kepada kawasan Sumatra Selatan; kerukunan kembali dwitunggal Soekarno-Hatta untuk mengendalikan pemerintahan Republik Indonesia; serta tersalurkannya aspirasi daerah.
Selanjutnya, dengan dalih demi keamanan dan ketenteraman, Letkol Burlian (Panglima TT II) mengumumkan bahwa kawasan Sumatra Selatan dalam keadaan bahaya.
Gubernur Winarno Danuatmodjo diminta menyerahkan kekuasaannya untuk memperlancar perjuangan pembangunan di kawasan Sumatra Selatan. Di antara Dewan Banteng, Dewan Gajah, dan Dewan Garuda ketika itu terjalin komunikasi yang erat, bahkan saling membantu. Ini tentu menjadikan kekhawatiran pemerintah pusat.
Sumber https://www.berpendidikan.com
Dampak Persoalan Hubungan Pusat-Daerah
Ada dua hal yang melatarbelakangi munculnya rasa ketidaksenangan di aneka macam daerah. Pertama, alokasi biaya pembangunan yang diterima dari sentra tidak sesuai dengan cita-cita daerah. Kedua, di aneka macam kawasan belum muncul rasa percaya kepada pemerintah.Dari situlah kita sanggup merunut munculnya aneka macam gerakan dan pergolakan kawasan yang mempengaruhi tatanan politik nasional. Gerakan-gerakan itu sanggup berkembang lantaran adanya proteksi dari beberapa panglima daerah.
1) Dewan Banteng
Di Sumatra Barat muncul Dewan Banteng yang dibuat oleh Letkol Achmad Husein pada tanggal 20–25 November 1956. Achmad Husein yakni Komandan Resimen Infanteri IV. Gerakan ini menuntut supaya pembangunan kawasan harus dilakukan dengan menggali otonomi seluas-luasnya.Letkol Achmad Husein mengambil alih pemerintah kawasan Sumatra Tengah dari tangan Gubernur Ruslan Muljohardjo. Salah satu alasannya lantaran gubernur gagal membangun kawasan Sumatra Tengah dan ini diakui secara terus jelas oleh gubernur.
Tuntutan Dewan Banteng sanggup dipahami oleh pemerintah pusat, tetapi pengambilalihan pemerintah kawasan dianggap menyalahi aturan oleh pemerintah pusat.
Dewan Banteng |
2) Dewan Gajah
Pada tanggal 22 Desember 1956 dibuat pula Dewan Gajah di Medan oleh Kolonel Maludin Simbolon (Panglima Tentara dan Teritorium I/TTI). Salah satu alasannya lantaran situasi serta kondisi yang kritis ketika keadaan bangsa dan negara sedang kacau.Setelah menguasai RRI Medan, Simbolon mengumumkan meskipun Kota Medan kacau, aturan masih sanggup ditegakkan. Bahkan, ia menyatakan tetap taat kepada Presiden Ir. Soekarno.
Ini tentu membingungkan rakyat, di satu sisi ia taat kepada pemerintah pusat, di sisi lain ia menguasai beberapa instansi vital di Medan. Langkah Simbolon ini ditentang oleh para perwira Sumatra Utara, menyerupai Letkol Djamin Gintings (Kepala Staf TTI) dan Letkol Wahab Makmur.
Presiden Ir. Soekarno pun mengingatkan supaya Simbolon kembali ke jalan yang benar. Oleh lantaran tidak menghiraukan undangan itu, Simbolon pun dipecat oleh PM Ali Sastroamidjojo.
Pemerintah lalu mengirimkan Fact Finding Commission (Komisi Penyelidik Keadaan) untuk meneliti lantaran musabab munculnya aneka macam gerakan di daerah. Namun, komisi ini ditolak kehadirannya.
3) Dewan Garuda
Di Sumatra Selatan sekelompok politisi lokal berhasil memengaruhi pimpinan militer setempat membentuk Dewan Garuda.Dalam Piagam Pembangunan yang mereka buat, mereka menuntut pemerintah sentra supaya memberi otonomi seluas-luasnya kepada kawasan Sumatra Selatan; kerukunan kembali dwitunggal Soekarno-Hatta untuk mengendalikan pemerintahan Republik Indonesia; serta tersalurkannya aspirasi daerah.
Selanjutnya, dengan dalih demi keamanan dan ketenteraman, Letkol Burlian (Panglima TT II) mengumumkan bahwa kawasan Sumatra Selatan dalam keadaan bahaya.
Gubernur Winarno Danuatmodjo diminta menyerahkan kekuasaannya untuk memperlancar perjuangan pembangunan di kawasan Sumatra Selatan. Di antara Dewan Banteng, Dewan Gajah, dan Dewan Garuda ketika itu terjalin komunikasi yang erat, bahkan saling membantu. Ini tentu menjadikan kekhawatiran pemerintah pusat.
Buat lebih berguna, kongsi: